Rabu, 29 Juni 2016

The Knife of Never Letting Go - Ketika Benak Bukan Lagi Tempat Paling Rahasia

Welcome to the world filled with madness and desperashun.

The Knife of Never Letting Go karya Patrick Ness adalah buku pertama dari trilogi Chaos Walking, sebuah novel yang mendapat banyak respon positif di Goodreads. Walaupun ketika membaca sinopsisnya, saya tidak merasakan ada sesuatu yang istimewa, saya tetap penasaran dengan buku ini, karena saya suka gaya tulisan Patrick Ness di A Monster Calls, dan ingin sekali membaca karya Ness lainnya.

Goodreads

Tahun ini saya berjodoh dengan The Knife of Never Letting Go berkat Mbak Zai yang dengan baik hati menawarkan diri untuk membelikan ketiga buku Chaos Walking di acara Big Bad Wolf Serpong. Saya sempat ragu, karena saya pun hendak datang ke acara tersebut beberapa hari setelahnya, dan saya pikir mungkin lebih baik saya cari sendiri bukunya daripada merepotkan orang lain. Tapi setelah dipikir lagi, dan menganalisis tren acara tersebut (di mana buku-buku menghilang dengan kecepatan luar biasa), saya pun menerima penawaran Mbak Zai. Dan ternyata benar saja, ketika saya datang ke sana, trilogi Chaos Walking sudah tidak terlihat di mana pun.

Setelah trilogi Chaos Walking mendekam dengan nyaman di rak buku saya (saat itu belum tahu hendak dibaca kapan), Mbak Zai pulalah yang kemudian mengajak saya baca bareng The Knife of Never Letting Go. Saya mengiyakan, segera setelah menyelesaikan Seeing Redd (buku kedua trilogi Looking Glass Wars) karya Frank Beddor.

Oke, sekarang mari kita buka buku ini...


Sebelum mulai membaca, saya lihat-lihat dulu sekilas isi The Knife of Never Letting Go, dan merasa cukup kaget dan gembira melihat layout-nya yang lumayan berbeda. Seperti yang bisa dilihat di foto di atas, ada beberapa kata/kalimat yang dicetak dengan jenis dan ukuran huruf berbeda-beda.

Begitu mulai membaca, saya pun menemukan gaya tulisan yang cukup unik dari Patrick Ness. Ada kata-kata dan struktur kalimat yang tidak sesuai tata bahasa. Contoh: direkshun itu direction, yer itu bisa your atau you are, dll. Dari awal saya sama sekali tidak menganggap ini typo, melainkan memang gaya tulisannya begitu. Dan ini relevan dengan kisah yang disampaikan, juga karakter tokoh utama novel ini, seorang remaja lelaki bernama Todd Hewitt yang kurang berpendidikan dan tidak bisa membaca.

Premis buku ini adalah: Bagaimana jika apa yang kau pikirkan tidak hanya ada dalam benakmu, tapi menjadi suara dan citra yang bisa didengar dan dilihat semua orang, tidak bisa kau kendalikan?

Hal inilah yang terjadi dalam dunia The Knife of Never Letting Go. Mereka menyebutnya Noise. Noise dianggap sebagai penyakit yang awalnya disebabkan oleh bakteri. Mudah diduga, Noise bisa membuat orang menjadi gila, hingga tega membunuh dan mengobarkan perang.

Desain sampul versi Candlewick

Kisah dimulai dengan Todd yang sedang berjalan-jalan dengan anjingnya, Manchee. Dia penduduk termuda di Prentisstown, satu-satunya bocah yang belum jadi pria dewasa. Ya, di Prentisstown semua penduduknya laki-laki, dan Todd sama sekali belum pernah bertemu dengan makhluk yang disebut perempuan.Todd berjalan-jalan cukup jauh dari kota yang penuh dengan Noise, hingga dia menemukan sebuah kekosongan di dekat rawa-rawa. Ada seseorang atau sesuatu yang sama sekali tidak memiliki Noise.

Ketika Todd pulang ke rumah dan menceritakan apa yang dia temukan pada walinya, Todd langsung segera dipaksa pergi sejauh mungkin dari Prentisstown. Todd marah dan bingung karena tidak mengerti apa-apa, walinya tidak mau dan tidak sempat menjelaskan apa-apa. Todd juga tidak tahu hendak menuju ke mana, jadi dia kembali ke rawa-rawa dan menemukan bahwa kekosongan yang dia temukan sebelumnya adalah seorang gadis remaja bernama Viola.

Maka dimulailah perjalanan Todd, Manchee, dan Viola. Perjalanan penuh bahaya dan ketidakpastian, karena para penduduk Prentisstown ternyata mengejar Todd dengan kekuatan penuh, meski Todd tidak tahu mengapa.


Kisah The Knife of Never Letting Go mengalir dengan cepat, seolah tidak ada waktu untuk bersantai-santai. Pembaca dibawa mengikuti perjalanan Todd yang begitu melelahkan. Sepanjang perjalanan, sedikit demi sedikit kebenaran terkuak--beberapa mengejutkan, beberapa sudah bisa diduga.

Karena saya sudah mengintip halaman terakhir sebelum selesai membaca, ending-nya tidak lagi mengejutkan, tapi tetap saja mengesalkan. Ada perasaan ingin cepat-cepat melanjutkan ke buku keduanya, The Ask and The Answer, tapi rasa kesal ini perlu ditenangkan dulu sepertinya...

Secara keseluruhan, saya memberi 4 bintang untuk buku ini.


The Knife of Never Letting Go saya sertakan dalam tantangan membaca SEVENEVES no.2: buku dengan jenis huruf pada sampul yang kalian suka. Ini tantangan dari Mas Jun yang saya tahu juga menyukai karya-karya Patrick Ness. Nah, kenapa saya suka jenis huruf pada judul The Knife of Never Letting Go? Karena terlihat seperti digoreskan oleh pisau itu sendiri; terkesan kasar dan keras, seperti halnya perjalanan yang harus ditempuh sang tokoh utama; satu lagi, jenis huruf ini juga digunakan pada judul di setiap awal bab, suatu konsistensi yang saya suka.


Cari tahu lebih banyak tentang SEVENEVES di sini dan ikutan juga tantangannya ya :)

Senin, 27 Juni 2016

Lady Detective, Manhwa dengan Sentuhan Klasik

Awal mula saya menemukan komik Lady Detective adalah ketika saya sedang melihat-lihat etalase Dojo Buku di Tokopedia. Waktu itu saya berniat untuk membeli volume 5 manga Les Miserables, tapi saya pikir sayang ongkos kirimnya kalau tidak sekalian membeli buku lainnya. Lalu saya melihat gambar sampul volume 3 manhwa Lady Detective, dan saya langsung tertarik, karena ada nuansa biru dan hitam, juga desain judulnya cantik, elegan, bernuansa klasik.

Lebih lanjut, di sampul tersebut tersurat bahwa serial ini akan tamat di volume 6. Termasuk serial pendek yang saya pikir tak akan membuatnya saya tersiksa mengumpulkannya. Saya pun membaca sinopsisnya. Di situ ada kata-kata konspirasi, pembunuhan, dan misteri, yang cukup membuat saya tertarik. Ditambah lagi latar belakang ceritanya adalah Inggris abad ke-19. Saya langsung terbayang Jane Austen.


Lady Detective
Volume 1 | 2 | 3
(Versi terjemahan Bhs. Indonesia di Goodreads)



Lady Detective mengisahkan tentang seorang gadis muda cerdas bernama Elizabeth/Lizzie Newton. Dia penulis novel populer yang menggunakan nama alias Logica Docens. Pada zaman itu, wanita pada umumnya dianggap makhluk-makhluk bodoh yang hanya bisa bersolek dan menghamburkan uang. Jarang ada gadis seperti Lizzie yang senang belajar dan maniak buku. Kesukaan Lizzie terhadap buku diwarisinya dari almarhum sang ayah. Di rumahnya ada perpustakaan besar berisi koleksi buku sang ayah, sebagian di antaranya langka dan amat berharga. Lizzie sepertinya bertekad menambah koleksi buku tersebut. Ibu Lizzie sama sekali belum dibahas, jadi entahlah dia masih hidup atau sudah meninggal.

Ayah Lizzie semasa hidupnya mengadopsi seorang bocah lelaki dari kalangan bawah, karena dia menilai bocah ini memiliki potensi. Bocah ini bernama Edwin White, dan dia tumbuh menjadi pemuda cerdas (dan ganteng tentunya). Dia sekolah di Eaton dan setelah lulus menjadi pengacara andal yang langsung memenangkan 30 kasus berturut-turut. Setelah ayah Lizzie meninggal, Edwin cuti jadi pengacara dan menjadi kepala pelayan (butler) di rumah keluarga Newton.

Hubungan antara Lizzie dan Edwin cukup rumit. Awalnya Edwin berperan sebagai kakak, kemudian sebagai tunangan, dan kini juga sebagai wali dan pelayan.

Sumber: zerochan.net

Dalam setiap volume, ada satu kasus atau teka-teki yang harus dipecahkan Lizzie (dengan bantuan Edwin). Volume 1 dan 3 berkaitan dengan kematian, tapi volume 2 tidak. Tapi justru di volume 2 ini yang menurut saya ceritanya menarik, karena berkaitan dengan dunia buku dan penerbitan... hohoho. Di volume 2 ini muncul tokoh menyebalkan bernama Andrew R. Kenneth (disingkat ARK) yang merupakan editor Lizzie. Mereka berdua sama-sama maniak buku dan saling iri akan koleksi satu sama lain. Dan di akhir volume 2 juga muncul nama tokoh yang bagi saya cukup mengejutkan: Moriarty.

Jalan cerita Lady Detective sebenarnya tidak terlalu istimewa kalau dilihat dari sisi misterinya, tapi saya tetap bisa menikmatinya karena ada sisipan adegan-adegan konyol yang bisa bikin tertawa. Selain itu, sisipan-sisipan sejarahnya lumayan menambah wawasan. Secara keseluruhan saya akan memberi nilai 3.5 bintang.


Tokoh-tokoh dalam Lady Detective menurut saya cukup menarik karakternya. Setiap tokoh punya plus minus masing-masing yang menjadikan mereka manusiawi.

Elizabeth Newton

Lizzie Newton amat sadar bahwa dirinya cerdas, cantik, dan kaya raya, jadi sikapnya cenderung angkuh dan menyebalkan. Tapi sikapnya ini bisa dimaklumi, karena sebagian besar orang meremehkannya hanya karena dia perempuan. Saat ini Lizzie masih fokus menulis dan belajar, dan sepertinya tidak berminat bermesra-mesraan dengan tunangannya.

Edwin White

Edwin White adalah lelaki pendiam yang baru akan terusik jika berhadapan dengan masalah yang menyangkut Lizzie. Di luar dugaan, dia juga romantis dan tidak mau memaksakan perasaannya pada Lizzie; dia tidak mau mereka menikah karena terpaksa, melainkan karena benar-benar saling mencintai.
Selain cerdas, Edwin juga jagoan bermain anggar.


Charles D Gray adalah orang yang katanya detektif terbaik di London, tapi tampak tolol di hadapan Lizzie dan Edwin. Dia awalnya merendahkan kemampuan Lizzie, tapi pada akhirnya mau mengakuinya. Bahkan mungkin dia mulai naksir? hohoho. Walaupun wajahnya imut-imut, sebenarnya usia dia sudah kepala 3, dan sejak ditinggal kekasihnya gara-gara dia ikut perang, Charles jadi tidak percaya perempuan.


Lestrade (nama panggilannya Lele) adalah polisi yang selalu menemani Charles di serial ini. Lucunya, dia digambarkan menyerupai Lego (iya, mainan susun bangun itu). 



ARK adalah editor Lizzie, sekaligus direktur penerbitannya. Dia mewarisi usaha itu dari ayahnya. Sebagai orang yang maniak buku (dia terutama memuja penulis-penulis Perancis), dia sampai repot-repot mendatangi Victor Hugo untuk meminta tanda tangannya di buku Les Miserables cetakan pertama. Dia juga ternyata adik sepupu Charles.

Sumber: zerochan.net

Sepertinya Volume 4 Lady Detective baru saja rilis, dan saya berencana membelinya setelah selesai liburan nanti. Sesuatu yang layak ditunggu-tunggu, karena sepertinya tokoh Moriarty akan muncul lagi. Apakah dia Moriarty yang sama dengan musuh bebuyutannya Sherlock Holmes? Kita lihat saja nanti.