Kamis, 31 Maret 2016

Tell The Wolves I'm Home

Pertama kali melihat buku ini direkomendasikan oleh Goodreads, saya cukup tertarik melihat desain sampulnya... dan rata-rata bintangnya yang di atas 4. Sebelum membaca sinopsisnya, saya mengira ini buku fantasi, mungkin fairy tale retelling-nya Little Red Riding Hood.


Ternyata bukan.
Ini buku coming-of-age, kisah seorang gadis remaja bernama June dan kecamuk perasaannya ketika menghadapi kematian Finn, pamannya.

Finn adalah orang terdekat June. Lebih dekat dari orang tuanya, lebih dekat dari kakak perempuannya, Greta.
Finn adalah seorang sahabat, satu-satunya orang yang mengerti June.
Perlu dicatat bahwa June adalah seorang anak "aneh." Maksudnya dia memiliki selera dan pola pikir yang berbeda dengan kebanyakan anak seusinya. Dia tidak punya teman dekat di sekolah.

Finn mengidap penyakit yang membuat imunitas tubuhnya rusak (mungkin kalian tahu penyakit yang dimaksud?). Setelah tahu hidupnya tak akan lama lagi, Finn, yang seorang pelukis, mendedikasikan bulan-bulan terakhirnya untuk melukis June dan Greta. Namun hingga ajal menjemput, Finn masih merasa lukisan itu belum sempurna. Lukisan itu diberi judul Tell The Wolves I'm Home.

June

Seluruh kisah Tell The Wolves I'm Home diceritakan dari sudut pandang gadis berusia 14 tahun ini. Apa yang dia rasakan, apa yang dia pikirkan, tumpah ruah... Sangat jelas dia menyanjung Finn. Menjabarkan segala macam kebaikan dan keunikan Finn. Deskripsi-deskripsinya seolah menjeritkan Lihat, inilah Finn. Cintai dia!

Wah, maaf June sayang, dia bukan tipe saya.

Tentang June sendiri... walaupun saya suka dengan gayanya yang selalu mengenakan rok dan sepatu bot ala zaman medieval, saya tidak terlalu suka dengan karakternya. Dia terlalu dibutakan oleh pesona Finn, sampai-sampai dia seolah tidak memedulikan semua orang lain, termasuk keluarga intinya sendiri. Yah, mungkin di satu sisi itu bisa dibilang gara-gara pubertas, dan June masih punya banyak waktu untuk belajar tentang kehidupan dan menjadi pribadi yang lebih baik. Saya penasaran June akan menjadi orang dewasa yang seperti apa.

Finn

Apa yang harus saya katakan tentangnya? Sudah muak membaca semua sanjungan June tentang pria ini. Sejujurnya saya kurang bisa bersimpati terhadap karakternya, dan saya cenderung merasa dia pantas mendapatkan apa yang dia dapatkan. Silakan saja sebut saya kejam.

Greta

Kakak perempuan June. Tokoh favorit saya. Dari awal, saya sudah bisa menduga seperti apa perasaan dan pikiran Greta sebenarnya, meskipun dia tidak terlalu banyak disebut-sebut. Sebaiknya saya tidak menulis lebih banyak tentangnya, karena itu salah satu bagian dramatis di pertengahan dan akhir kisah. Yang jelas ada salah satu ucapan Greta pada June yang membuat saya sangat tersentuh, seolah saya bisa ikut merasakan sakit hatinya Greta.

Greta benar-benar jago akting, hingga bisa meyakinkan semua orang bahwa dirinya kuat dan mandiri. Tak ada yang tahu betapa kesepiannya dia. Saya sungguh ingin merangkulnya dalam diam.

Toby

Pria ini adalah teman (sangat) dekat Finn. Dia mengidap penyakit yang sama dengan Finn. Setelah Finn meninggal, Toby berusaha menjalin hubungan dengan June, karena dia yakin bahwa di dunia ini hanya mereka berdua yang sangat mencintai Finn.

Awalnya cukup menarik mengikuti interaksi-interaksi rahasia antara June dan Toby (rahasia, karena keluarga June membenci Toby, menganggapnya penyebab Finn tewas), tapi lama-lama saya merasa mereka terlalu lebay. Dan saya kurang suka dengan hal-hal destruktif yang Toby tularkan pada June. Egois sekali.

1987

Ya, kisah ini terjadi pada tahun 1987, ketika orang-orang belum tahu banyak tentang penyakit yang diidap Finn dan Toby. Penyakit misterius. Orang-orang masih menganggap penyakit ini penularannya lewat sentuhan (mungkin?) dan mengucilkan siapa pun yang mengidapnya.

Di tahun 1987, belum marak ponsel. June tidak punya ponsel, sehingga ruang komunikasinya terbatas. Dia harus sembunyi-sembunyi menelpon Finn dari telepon rumah. Orang tua June pun tidak bisa dengan mudah menghubungi June, dan tidak tahu anaknya sembunyi-sembunyi bertemu dengan seorang pria dewasa.

Carol Rifka Brunt sendiri bilang bahwa kisah ini akan jadi berbeda sekali jika terjadi pada masa kini.

Serigala

Pembaca pastilah bertanya-tanya apa makna dari judul buku ini. Tell The Wolves I'm Home. Itu bukan sekadar kalimat yang Finn gunakan untuk menjadi judul lukisan terakhirnya. Di dalam kisahnya sendiri, tidak ada sosok nyata serigala. Meskipun June yang senang berjalan-jalan di hutan pernah mendengar lolongannya, lebih dari sekali.

Serigala di sini menjadi simbol dari berbagai emosi negatif yang June (dan semua manusia) rasakan dan berusaha dia hindari. Pada akhirnya mau tak mau dia harus "pulang" dan menghadapi emosi-emosi itu.


Ketika memesan buku ini di Periplus, saya berharap akan mendapatkan buku dengan desain sampul yang paling kiri dari desain di atas. Sayangnya harapan itu tidak terwujud... Sekilas terkesan sederhana ya, hanya didominasi warna hijau, hitam dan putih, tapi bagi saya amat menarik. Ada siluet teko, beruang, dan kepala seorang gadis (tentu saja gadis itu June). Dikisahkan bahwa Finn memiliki sebuah teko istimewa (bukan teko ajaib ya) bergambar beruang (sedang berdansa), dan setelah dia meninggal, teko itu diberikan pada June.

Kematian bukan akhir segalanya

Atmosfer Tell The Wolves I'm Home mirip dengan The Fault in Our Stars-nya John Green atau A Monster Calls-nya Patrick Ness. Kisah-kisah ini mengangkat tema yang cukup berat: kematian. Dan jika ada satu pelajaran yang bisa diambil, itu adalah fakta bahwa kematian bukan akhir segalanya. Seberat apapun kepedihan yang harus ditanggung akibat kematian orang terdekat, kita tidak bisa selamanya berkubang dalam air mata dan duka. Waktu akan terus bergulir, kita harus melanjutkan hidup... hingga akhirnya kematian itu menjemput kita juga.

Semoga kisah-kisah ini bisa membuat kita jadi lebih bijak menyikapi kehidupan dan kematian, dua hal yang tidak akan pernah bisa dipisahkan.


Berapa bintang yang saya berikan untuk June dan serigala-serigalanya?

Yah... saya kurang suka dengan segala drama menya-menye June, dan separuh awal buku saya lumayan bosan baca bukunya. Tapi paruh akhir cukup sarat konflik yang mengarah ke klimaks yang oke. Penyelesaian kisahnya juga bagus dan realistis, jadi secara keseluruhan buku ini memang amat layak baca.


Tell The Wolves I'm Home saya ikutkan dalam tantangan membaca SEVENEVES no.4: Buku dari penulis "baru" bagimu (baru di sini adalah kalian baru pertama kali membaca karya-karyanya). Carol Rifka Brunt adalah penulis baru bagi saya, dan pastinya juga demikian bagi semua orang, karena Tell The Wolves I'm Home adalah karya debutnya dan hingga kini dia belum menulis buku lain.

Cari tahu lebih banyak tentang SEVENEVES di sini.

Selasa, 22 Maret 2016

Gelap dan Terang di Balik Rak Buku

Semua hal yang berhubungan dengan buku dan rak buku pasti membuat saya, sebagai seorang pencinta buku (novel), tertarik. Begitu pula dengan novel remaja (middle grade) berikut ini, yang berjudul Behind the Bookcase karya Mark Steensland. Pertama kali melihat sampulnya muncul dalam rekomendasi dari situs Goodreads, saya langsung menelisik lebih jauh.

Dilihat dari desain sampulnya saja, sudah ada elemen-elemen yang saya suka: rak buku (plus buku-bukunya), kucing hitam, dan dominasi warna tosca.


Premisnya menarik: seorang gadis kecil yang menemukan dunia lain di balik rak buku.
Hmmm... sekilas, mirip Coraline-nya Neil Gaiman? Kita bahas lebih lanjut nanti.

Ketika melihat bukunya cukup tipis (kurang dari 300 halaman) dan harganya tidak terlalu mahal, saya langsung membelinya via Periplus online. Dan karena akhir pekan kemarin saya ada acara ke luar kota selama dua hari, saya membawa buku ini sebagai bekal perjalanan. Ternyata Behind the Bookcase bisa selesai saya baca lebih cepat daripada perkiraan.

Sumber: goodreads.com

Sekilas kisahnya

Behind the Bookcase menceritakan seorang gadis kecil bernama Sarah yang bersama keluarganya, datang ke rumah almarhumah nenek untuk membereskan rumah tersebut sebelum dijual. Sarah kemudian menemukan berbagai kejanggalan di rumah itu, di antaranya adalah suara-suara dari balik rak buku di kamarnya.

Penasaran, Sarah menarik rak buku kecil itu hingga lepas dari dinding. Di baliknya ada lorong gelap mengarah ke dunia lain... ke dunia bayang-bayang bernama Scotopia. Di dunia itu, Sarah bertemu berbagai makhluk aneh dan mengalami berbagai petualangan menegangkan.


Gadis kecil, kucing hitam, dan portal menuju dunia lain

Ketiga elemen yang terlihat jelas dari sampul buku Behind the Bookcase ini langsung mengingatkan saya akan novel Coraline karya Neil Gaiman. Berhubung saya menyukai Coraline, saya jadi punya ekspektasi besar terhadap Behind the Bookcase... dan jadi sedikit kecewa pada akhirnya.

Sebenarnya kedua novel ini tidak terlalu sama. Ya, Coraline dan Sarah sama-sama menemukan portal menuju dunia lain, dan walaupun awalnya mereka memasuki portal karena didorong rasa penasaran, kali berikutnya mereka 'terpaksa' memasuki portal itu. Menurut saya, alasan Coraline memasuki portal lebih sederhana dan nyata... dia harus menyelamatkan jiwa kedua orangtuanya. Sedangkan alasan Sarah lebih klise: menyelamatkan dunia. Heh.

Kucing hitam dalam Coraline tidak memiliki nama, sedangkan kucing hitam dalam Behind the Bookcase bernama Balthazat, dan mengaku sebagai Rajanya Para Kucing. Keduanya sama-sama arogan, tapi Balthazat dari awal sudah kentara sekali culasnya. Tidak perlu waktu lama untuk menebak bahwa kucing tengil inilah tokoh antagonisnya.

Jika lebih jauh membandingkan Coraline dan Behind the Bookcase, saya berani bilang bahwa Behind the Bookcase memiliki plot cerita yang lebih rumit... tapi bukan berarti lebih bagus. Semakin rumit suatu cerita, semakin banyak konflik yang disajikan, maka semakin besar kemungkinan adanya plot hole. Jadi, meskipun plotnya lebih sederhana, bagi saya Coraline masih jauh lebih bagus daripada Behind the Bookcase.

Oh iya, jangan salahkan saya jika membanding-bandingkan kedua novel ini... Habisnya di blurb-nya sudah jelas-jelas ditulis perfect for fans of Coraline. Secara tidak langsung itu ajakan untuk membandingkan keduanya kan? *mencari pembenaran :p


Solusi bagi semua masalah

Di atas saya sudah bilang bahwa Behind the Bookcase memiliki plot yang cukup rumit. Itu karena ada berbagai masalah yang harus dihadapi sang tokoh utama. Awalnya masalah-masalah ini terasa menarik, dan membuat saya penasaran bagaimana cara Sarah menyelesaikan semuanya.

Sayangnya, solusi dari semua masalah itu cuma satu, dan terkesan terlalu mudah terjadi. Saya tidak akan menyebutkan secara spesifik karena tidak mau memberikan spoiler. Pokoknya hal ini membuat semua petualangan yang Sarah alami menjadi terkesan tidak penting.

Dan ujung-ujungnya... akhir cerita jadi terkesan terlalu terburu-buru.


Ilustrasi imut, makhluk-makhluk aneh

Untungnya, kelemahan dalam alur cerita Behind the Bookcase terobati dengan adanya ilustrasi-ilustrasi imut di dalamnya. Ilustrasi-ilustrasi tersebut adalah karya dari Kelly Murphy yang sudah malang melintang di dunia ilustrasi buku sejak tahun 2002.

Dalam Behind the Bookcase, ada berbagai makhluk aneh yang diilustrasikan dengan bagus dan imut, tidak terkesan seram. Misalnya makhluk berupa tangan raksasa dengan satu bola mata di bagian telapaknya, atau makhluk serupa manusia yang tidak punya leher dan kepalanya menempel di dada.


Dunia yang seimbang

Ada setidaknya satu nilai moral yang bisa diambil dari novel ini, yaitu...
Tidak ada dunia yang sepenuhnya terang. Pasti sebagiannya ada yang menjadi bayang-bayang.... dan akhirnya menjadi gelap. Memang sudah seharusnya seperti itu, agar dunia ini seimbang.

Akhir kata

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan Behind the Bookcase, novel ini cukup layak baca. Cocok untuk menstimulasi anak-anak agar gemar membaca. Saya mengikutkannya dalam tantangan membaca SEVENEVES no.7: Buku dengan ilustrasi di dalamnya. Jika ingin tahu lebih banyak tentang SEVENEVES, silakan lihat tulisan saya di sini.

Rabu, 16 Maret 2016

Rooms. Penuh Hantu dan Rahasia.

Terkadang, mereka bukannya ingin menghantui...
Mereka hanya terjebak.
Bukannya ingin mengganggu, melainkan minta tolong.
Mereka ingin bebas dari kekangan penjara.


Rooms karya Lauren Oliver mengisahkan tentang sebuah rumah berhantu, dengan gaya penceritaan yang cukup berbeda. Sebelumnya Oliver telah terkenal dengan trilogi Delirium, yang ditujukan untuk pembaca dewasa muda (Young Adult/YA), dan juga Liesl & Po serta The Spindlers yang ditujukan untuk pembaca remaja (Middle Grade/MG). Rooms dia tulis untuk pembaca dewasa.

Bab-bab dalam Rooms dikisahkan dari sudut pandang tokoh yang berbeda-beda. Ketika tokohnya hantu, sudut pandangnya orang pertama, dan ketika tokohnya manusia, sudut pandangnya orang ketiga. Rooms juga dipecah ke dalam beberapa bagian sesuai jenis-jenis ruangan dalam rumah. Kisah dimulai di dapur, dan uniknya, diakhiri di dapur pula.


Setelah dia tewas

Rumah yang menjadi latar belakang kisah Rooms dimiliki seorang pria kaya raya bernama Richard Walker. Dia sudah sepuluh tahun bercerai dengan istrinya, dan sang istri pergi membawa kedua anak mereka. Mr. Walker pun menempati rumah itu seorang diri. Di pengujung hidupnya, Mr. Walker yang sakit parah tetap mendiami rumah itu, ditemani seorang suster yang merawatnya.

Setelah Mr. Walker tewas, sang istri dan kedua anaknya datang ke rumah itu untuk 'membereskan' semua yang perlu dibereskan. Dan tentu saja untuk mengklaim warisan mereka.


Mereka yang datang, para manusia

Tokoh-tokoh sentral dalam Rooms yang berwujud manusia adalah keluarga Walker. Meskipun kisah mereka dituturkan dalam sudut pandang orang ketiga, pembaca tetap dapat menyelami emosi mereka, dan merasakan bersimpati... jika ingin.

Caroline Walker

Mantan istri Richard Walker dan ibu dari dua anak, Minna sang kakak perempuan, dan Trenton sang adik lelaki. Caroline seorang pemabuk berat, bahkan setelah tahu organ dalamnya rusak parah. Seumur hidupnya dia telah berpura-pura dan berbohong... berpura-pura membenci suaminya, berpura-pura membenci rumah tempat mereka tinggal. Hingga akhirnya kebohongan itu menjadi sebuah kebenaran baginya, dan sudah terlampau sulit untuk berkata jujur.

Minna Walker

Anak sulung keluarga Walker. Perempuan cantik yang sepertinya seorang nymphomaniac. Waktu kecil dia pernah dilecehkan secara seksual oleh guru les pianonya... dan sepertinya gara-gara itu dia jadi stoic, nyaris tidak pernah lagi merasakan kebahagiaan. Bahkan kehadiran seorang bayi pun hanya sedikit mengisi kehampaan dalam jiwanya.

Trenton Walker

Anak bungsu keluarga Walker. Remaja tanggung yang kondisi fisiknya terbatas setelah terlibat kecelakaan lalu lintas. Dia merasa hidupnya begitu tidak bermakna, dan menghabiskan sebagian besar waktunya memikirkan cara bunuh diri paling asyik.

Mungkin karena dia punya pengalaman nyaris tewas, dia jadi lebih sensitif dan bisa berkomunikasi dengan hantu-hantu yang menghuni rumahnya.

Amy

Anak perempuan Minna. Karena masih kecil, ketika cerita disajikan dari sudut pandang dia, terasa sekali kepolosannya. Agak sedih karena sebenarnya Amy tahu perilaku seksual ibunya yang menyimpang. Tapi dia bisa berbuat apa?


Mereka yang tinggal, para hantu

Ada tiga hantu di dalam Rooms, tapi yang satu perannya minor. Dua lainnya memiliki kepribadian yang bertolak belakang dan sering bertengkar. Ditambah lagi mereka berasal dari zaman yang berbeda. Kisah mereka berdua disampaikan dari sudut pandang 'hantu' pertama, dan pembaca diajak menyimak masa lalu mereka yang ternyata penuh rahasia.

Alice

Hantu pertama yang terperangkap di dalam rumah itu. Sekilas dia sepertinya prim and proper. Istri yang pendiam dan patuh. Tapi di balik itu semua ada rahasia besar yang tragis dan menyakitkan. Rahasia itu baru diungkap di akhir cerita, dan jujur itu rahasia yang membuat saya marah pada sosok Alice, meskipun dia memiliki alasan kuat ketika melakukannya.

Karena sudah lama jadi hantu, Alice jadi punya kekuatan untuk mengintervensi dunia nyata. Sekali, dia membuat lampu di basemen pecah.

Sandra

Hantu kedua yang terperangkap di rumah itu. Seorang wanita yang kesepian, dan satu-satunya kawan akrab dia adalah minuman beralkohol. Sosok Sandra selalu blak-blakan dan senang mengejek Alice, tapi ketika dia diharuskan mengingat-ingat masa lalunya sendiri, dia jadi sentimentil. Ada kesamaan dalam dirinya dan Alice, tapi sepertinya Alice enggan mengakui hal itu.

Terjebak selamanya?

Seperti yang saya bilang di awal, Alice dan Sandra sebenarnya ingin bebas dari rumah yang memenjara mereka. Agar itu dapat terjadi, tentu mereka harus mau mengkonfrontasi rahasia masa lalu mereka, dan berdamai dengan diri sendiri.

Berbagai versi desain sampul Rooms.
Sumber: goodreads.com

Opini tentang Rooms

Rooms sarat drama dan emosi. Isu-isu yang diangkat cukup sensitif. Tokoh-tokohnya sakit jiwa... kecuali Amy. Menurut saya ini kurang cocok dibaca remaja... tapi mungkin masih oke untuk dewasa muda yang memang menggemari genre semacam ini.

Sebenarnya saya lebih suka desain sampul Rooms yang paling kiri dari gambar di atas (karena warnanya biru, tentu saja :p), tapi harganya lebih mahal daripada yang merah ini. Ya sudahlah, toh isinya sama saja kan? *hiks


Rooms karya Lauren Oliver saya ikutkan dalam tantangan membaca SEVENEVES no.1: Buku dengan cover merah. Ini tantangan dari Mas Jun yang sepertinya memang menyukai warna merah. Hehehe. Lebih lanjut tentang SEVENEVES bisa lihat tulisan saya di sini.

Selasa, 15 Maret 2016

Coraline, Gadis Kecil dengan Keberanian Besar

Kalau saya tidak salah ingat, Coraline adalah buku Neil Gaiman pertama yang saya baca. Saya terkesan dengan gaya tulisannya, dan ingin membaca buku-buku Gaiman lainnya. (Sepertinya buku Gaiman saya yang kedua adalah Stardust--dan itu pun mengesankan.)


Sekitar tahun 2007, saya membeli Coraline versi terjemahan Bhs. Indonesia, yang dihiasi oleh ilustrasi-ilustrasi karya Dave McKean. Saya pribadi kurang suka dengan gaya ilustrasinya yang terkesan kurang rapi, tapi gaya itu sangat cocok dengan kisah Coraline, menambah atmosfer seramnya. Belum lama ini, di awal tahun 2016, saya membeli boxset Neil Gaiman yang berisi Coraline, The Graveyard Book, dan Fortunately, The Milk, yang ketiganya menggunakan ilustrasi-ilustrasi karya Chris Riddell. Berhubung saya suka gaya ilustrasi Riddell, saya tidak menyesal membeli boxset ini, meski harganya cukup mahal.

Kalau ada yang saya sesali, itu adalah terlewat tidak membeli Coraline versi gravel. Saya benar-benar tidak tahu buku itu ada dan sudah diterbitkan di Indonesia. Dan sekarang buku itu sudah langka T_T Maklum, waktu itu akses internet dan informasi di sosmed tidak semarak sekarang. Untuk tahu info buku-buku baru, saya harus berkunjung dulu ke toko buku... suatu hal yang tidak bisa terlalu sering saya lakukan.


Rumah baru, petualangan baru

Cerita dimulai dengan kepindahan Coraline dan ayah-ibunya ke Pink Palace. 

Pink Palace adalah sebuah rumah besar yang dibagi-bagi menjadi beberapa apartemen, dan keluarga Coraline menempati salah satunya. Di loteng ada Mr. Bobinsky dan tikus-tikus peliharaannya, di basemen ada Miss Spink dan Miss Forcible, dua aktris yang sudah pensiun.

Coraline yang berjiwa petualang segera saja menjelajahi lingkungan sekitar rumah itu. Namun suatu hari, hujan deras turun, dan Coraline terjebak di dalam rumah. Bosan setengah mati. Kedua orangtuanya sibuk bekerja dengan komputer masing-masing, sama sekali tidak bisa diganggu. Coraline pun menjelajahi Pink Palace, dan menemukan sebuah pintu yang terkunci. Ketika dibuka, di balik pintu itu ada dinding batu bata. Menurut ibu Coraline, mungkin pintu itu menuju ke apartemen lain.

Malamnya, Coraline terbangun mendengar bunyi-bunyi berisik, seperti suara tikus. Saat mencari sumber suaranya, Coraline mendapati bahwa pintu misterius itu terbuka, dan di baliknya ada ruangan. Penuh rasa penasaran, Coraline melangkah melewati ambang pintu. Dia sama sekali tidak menyadari bahaya apa yang menantinya di sana... dan bahwa dia akan dipaksa mempertaruhkan jiwanya.

Beldam versi Riddell

Dia menginginkan sesuatu untuk dicintai...

...atau untuk dimakan.

The other mother, atau Beldam, dalam Coraline adalah salah satu tokoh antagonis paling mengerikan. Dia memiliki mata dari kancing hitam besar, dan dia ingin menjahit kancing serupa di matamu... dia bilang itu karena dia mencintaimu... dan ingin agar kamu selalu berada di sisinya.

Beldam versi McKean

Jika dipikirkan, sosok Beldam itu menyedihkan. Dia sebenarnya tidak mengenal cinta, dia menyamakan konsepnya dengan kepemilikan. Tak peduli seberapa banyak anak yang dia culik untuk dicintai dimiliki, dia tidak akan pernah puas.

Dunia tempat tinggal Beldam adalah dunia palsu, dan dia terjebak di dalamnya... karena itulah dia berusaha menarik anak-anak ke dalam dunia itu, untuk menemaninya. Mungkin selama ini, dia kesepian.


Dari mana datangnya keberanian?

Salah satu kutipan favorit saya dalam Coraline adalah ini. 

"Ketika kau takut, tapi tetap bertindak, itulah yang disebut berani."

Bisanya, orang jadi berani ketika dia berada dalam situasi yang mendesak, ketika dia dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Pernahkah kau bisa melakukan sesuatu yang pada kondisi normal kau anggap tidak mungkin? :)

Dalam kenyataan, keberanian tidak selalu terkait kondisi hidup-mati, seperti yang dihadapi Coraline, tapi juga keberanian untuk mengambil risiko. Keberanian untuk melepaskan sesuatu yang selama ini membuat hidupmu nyaman.

Sumber: impawards.com

Bagaimana dengan filmnya?

Ah, ya... Coraline telah diangkat ke layar lebar dengan judul sama pada tahun 2009. Ada sedikit perbedaan dengan versi bukunya, dan ada penambahan karakter, tapi secara keseluruhan filmnya sangat bagus. Musik dan lagu yang digunakan juga bagus dan pas. Bahkan, saya tidak bosan berulang kali menonton Coraline dan mendengarkan album OST-nya.

Visualisasi tokoh-tokohnya sangat sesuai. Kucing hitamnya... meskipun terlihat mengenaskan karena begitu kurus, memang wujud seperti itulah yang cocok untuknya, karena dia kucing liar. Para penggemar kucing (seperti saya) jangan berharap akan melihat kucing hitam yang imut-imut ya :))

Wybie. Sumber: impawards.com
Tokoh Wybie yang hanya muncul dalam Coraline versi film, adalah seorang bocah lelaki usil yang sepertinya naksir Coraline. Ceritanya dia cucu dari pemilik Pink Palace. Wybie dekat dengan si kucing hitam karena suka memberi kucing itu makan. Wybie juga membantu melawan (potongan tangan) Beldam. Dia diberi peran yang signifikan, jadi saya tidak merasa tokohnya ini hanya sekadar tempelan.

Ulasan saya yang lebih lengkap tentang film Coraline bisa dilihat di sini.

Beragam versi desain sampul Coraline
Sumber: goodreads.com

Kembali ke buku

Coraline adalah salah satu buku yang telah membuat saya jatuh cinta dengan karya-karya Neil Gaiman. Hingga saat ini saya berusaha membaca dan mengumpulkan karya-karya beliau. Kalau ada kawan yang minta rekomendasi buku Gaiman, pasti saya sarankan untuk membaca Coraline atau Stardust, atau The Graveyard Book.

Walaupun Coraline tokoh utamanya anak-anak, ceritanya tetap asyik jika dibaca orang dewasa. Bahkan ada orang yang mengaku bahwa kisah Coraline membantunya menghadapi masa-masa sulit dengan penuh keberanian. Ya, kisah Coraline memang seram, apalagi jika dilihat dari sudut pandang anak-anak. Tapi... kisah ini juga mengandung harapan, dan keyakinan bahwa monster bisa dikalahkan, dan badai pasti berlalu.


Coraline karya Neil Gaiman saya ikutkan dalam tantangan membaca SEVENEVES no.9: Buku dengan tokoh utama anak-anak. Lebih lanjut tentang SEVENEVES bisa lihat tulisan saya di sini.