Welcome to the world filled with madness and desperashun.
The Knife of Never Letting Go karya Patrick Ness adalah buku pertama dari trilogi Chaos Walking, sebuah novel yang mendapat banyak respon positif di Goodreads. Walaupun ketika membaca sinopsisnya, saya tidak merasakan ada sesuatu yang istimewa, saya tetap penasaran dengan buku ini, karena saya suka gaya tulisan Patrick Ness di A Monster Calls, dan ingin sekali membaca karya Ness lainnya.
Goodreads |
Tahun ini saya berjodoh dengan The Knife of Never Letting Go berkat Mbak Zai yang dengan baik hati menawarkan diri untuk membelikan ketiga buku Chaos Walking di acara Big Bad Wolf Serpong. Saya sempat ragu, karena saya pun hendak datang ke acara tersebut beberapa hari setelahnya, dan saya pikir mungkin lebih baik saya cari sendiri bukunya daripada merepotkan orang lain. Tapi setelah dipikir lagi, dan menganalisis tren acara tersebut (di mana buku-buku menghilang dengan kecepatan luar biasa), saya pun menerima penawaran Mbak Zai. Dan ternyata benar saja, ketika saya datang ke sana, trilogi Chaos Walking sudah tidak terlihat di mana pun.
Setelah trilogi Chaos Walking mendekam dengan nyaman di rak buku saya (saat itu belum tahu hendak dibaca kapan), Mbak Zai pulalah yang kemudian mengajak saya baca bareng The Knife of Never Letting Go. Saya mengiyakan, segera setelah menyelesaikan Seeing Redd (buku kedua trilogi Looking Glass Wars) karya Frank Beddor.
Oke, sekarang mari kita buka buku ini...
Sebelum mulai membaca, saya lihat-lihat dulu sekilas isi The Knife of Never Letting Go, dan merasa cukup kaget dan gembira melihat layout-nya yang lumayan berbeda. Seperti yang bisa dilihat di foto di atas, ada beberapa kata/kalimat yang dicetak dengan jenis dan ukuran huruf berbeda-beda.
Begitu mulai membaca, saya pun menemukan gaya tulisan yang cukup unik dari Patrick Ness. Ada kata-kata dan struktur kalimat yang tidak sesuai tata bahasa. Contoh: direkshun itu direction, yer itu bisa your atau you are, dll. Dari awal saya sama sekali tidak menganggap ini typo, melainkan memang gaya tulisannya begitu. Dan ini relevan dengan kisah yang disampaikan, juga karakter tokoh utama novel ini, seorang remaja lelaki bernama Todd Hewitt yang kurang berpendidikan dan tidak bisa membaca.
Premis buku ini adalah: Bagaimana jika apa yang kau pikirkan tidak hanya ada dalam benakmu, tapi menjadi suara dan citra yang bisa didengar dan dilihat semua orang, tidak bisa kau kendalikan?
Hal inilah yang terjadi dalam dunia The Knife of Never Letting Go. Mereka menyebutnya Noise. Noise dianggap sebagai penyakit yang awalnya disebabkan oleh bakteri. Mudah diduga, Noise bisa membuat orang menjadi gila, hingga tega membunuh dan mengobarkan perang.
Desain sampul versi Candlewick |
Kisah dimulai dengan Todd yang sedang berjalan-jalan dengan anjingnya, Manchee. Dia penduduk termuda di Prentisstown, satu-satunya bocah yang belum jadi pria dewasa. Ya, di Prentisstown semua penduduknya laki-laki, dan Todd sama sekali belum pernah bertemu dengan makhluk yang disebut perempuan.Todd berjalan-jalan cukup jauh dari kota yang penuh dengan Noise, hingga dia menemukan sebuah kekosongan di dekat rawa-rawa. Ada seseorang atau sesuatu yang sama sekali tidak memiliki Noise.
Ketika Todd pulang ke rumah dan menceritakan apa yang dia temukan pada walinya, Todd langsung segera dipaksa pergi sejauh mungkin dari Prentisstown. Todd marah dan bingung karena tidak mengerti apa-apa, walinya tidak mau dan tidak sempat menjelaskan apa-apa. Todd juga tidak tahu hendak menuju ke mana, jadi dia kembali ke rawa-rawa dan menemukan bahwa kekosongan yang dia temukan sebelumnya adalah seorang gadis remaja bernama Viola.
Maka dimulailah perjalanan Todd, Manchee, dan Viola. Perjalanan penuh bahaya dan ketidakpastian, karena para penduduk Prentisstown ternyata mengejar Todd dengan kekuatan penuh, meski Todd tidak tahu mengapa.
Kisah The Knife of Never Letting Go mengalir dengan cepat, seolah tidak ada waktu untuk bersantai-santai. Pembaca dibawa mengikuti perjalanan Todd yang begitu melelahkan. Sepanjang perjalanan, sedikit demi sedikit kebenaran terkuak--beberapa mengejutkan, beberapa sudah bisa diduga.
Karena saya sudah mengintip halaman terakhir sebelum selesai membaca, ending-nya tidak lagi mengejutkan, tapi tetap saja mengesalkan. Ada perasaan ingin cepat-cepat melanjutkan ke buku keduanya, The Ask and The Answer, tapi rasa kesal ini perlu ditenangkan dulu sepertinya...
Secara keseluruhan, saya memberi 4 bintang untuk buku ini.
The Knife of Never Letting Go saya sertakan dalam tantangan membaca SEVENEVES no.2: buku dengan jenis huruf pada sampul yang kalian suka. Ini tantangan dari Mas Jun yang saya tahu juga menyukai karya-karya Patrick Ness. Nah, kenapa saya suka jenis huruf pada judul The Knife of Never Letting Go? Karena terlihat seperti digoreskan oleh pisau itu sendiri; terkesan kasar dan keras, seperti halnya perjalanan yang harus ditempuh sang tokoh utama; satu lagi, jenis huruf ini juga digunakan pada judul di setiap awal bab, suatu konsistensi yang saya suka.
Cari tahu lebih banyak tentang SEVENEVES di sini dan ikutan juga tantangannya ya :)
Wiw. Jadi penasaran.
BalasHapus