"Tujuan pacaran adalah untuk putus.
Bisa karena menikah, bisa karena berpisah."
Bukunya sudah lama dibeli dan selesai dibaca... tapi entah kenapa diri ini tidak tergugah untuk menuliskan sesuatu tentangnya. Sekarang saya berusaha mengingat kembali... kesan dan pesan yang sempat terlintas usai membaca Dilan 2.
Buku Dilan 1 diakhiri dengan peristiwa menyenangkan, yakni jadiannya Dilan dan Milea. Tapi, saya yakin semua orang yang pernah merasakan pacaran tahu bahwa jadian bukanlah akhir, melainkan awal babak baru sebuah hubungan antara dua sejoli. Tulisan saya tentang Dilan 1 ada di blog ini juga.
Sumber: mizanstore.com |
Pada intinya, Dilan 2 mengisahkan masa-masa pacaran Dilan dan Milea. Sulit mengomentarinya tanpa khawatir akan membocorkan kisahnya. Seperti halnya orang lain yang pacaran, Dilan dan Milea juga menghadapi berbagai masalah yang mengancam berakhirnya hubungan romantis mereka. Dan layaknya remaja belasan tahun, keduanya berusaha menyelesaikan masalah-masalah itu dengan cara-cara yang menurut saya kekanakan. Tapi ya harap maklum, namanya juga anak muda.
Jika membandingkan antara Dilan 1 dan Dilan 2, buku yang kedua tidak meninggalkan kesan sekuat buku yang pertama. Setidaknya terhadap saya. Mungkin juga ini dikarenakan saya sudah kena bocoran akhir ceritanya sebelum saya sempat membacanya sendiri. Saya bukan jenis orang yang membenci spoiler, tapi memang spoiler terkadang membuat malas membaca bukunya, karena jelas telah mengurangi tingkat keseruan yang didapat.
Dalam Dilan 2, Milea terlihat mendominasi, sedangkan Dilan seakan-akan menjadi lemah sosoknya... walaupun dia tetap melakukan dan melontarkan hal-hal yang membuat orang tersenyum sendiri karena di luar ekspektasi. Di satu sisi saya memahami kekhawatiran Milea akan Dilan yang merupakan anggota geng motor dan dekat dengan kekerasan, tapi di sisi lain, saya menyayangkan keputusannya untuk berusaha mengekang Dilan sekuat itu.
Anak remaja nakal itu biasa, asal dia tahu diri untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Dan saya rasa Dilan seperti itu. Namun sepertinya rasa sayang telah membuat Milea buta, dan tak berusaha melihat keadaan dari balik kacamata Dilan. Sekali lagi, harap maklum, kan anak muda. Mungkin pikirannya belum matang.
"Cinta itu bagaikan pasir atau air.
Bila digenggam terlalu kuat, ia akan mengalir melewati sela-sela jarimu."
Entah di mana saya mendengar atau membaca kutipan itu. Yang jelas, itu cocok sekali dilemparkan ke muka Milea.
Apakah lantas saya membenci Milea dan keputusan-keputusan yang diambilnya? Oh, tidak. Untuk apa? Dia sendiri yang kemudian harus menanggung konsekuensinya, dan dia sendiri yang harus bergumul dengan penyesalannya (kalau memang dia menyesal).
Tapi bohong kalau saya bilang tidak merasa kasihan pada Dilan. Bagaimana pun juga dia sama seperti semua orang yang ingin dimengerti oleh orang yang dikasihinya.
Sumber: blog-nya Surayah Pidi Baiq |
Dilan 3?
Surayah Pidi Baiq bilang Dilan akan dijadikan trilogi... katanya lagi, buku tiga itu akan menggunakan sudut pandang Dilan, menceritakan Milea. Kalau penasaran, coba deh cek blog-nya surayah.Dan walaupun tidak terlalu terkesan dengan buku keduanya, saya tetap menantikan buku ketiganya... Entah kapan. Hahaha. Sementara itu, masih banyak buku-buku lain yang menanti untuk dibaca.
Numpang nampang bareng surayah yang nyentrik, cerdik, nan asyik. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar