Meskipun dalam Purple Eyes ini setting tempatnya di Norwegia kala musim dingin, tetap saja kehangatan yang terasa, menyeruak dari interaksi antar tokoh utama.
Sinopsis
(Meminjam dari Goodreads, dan dari blurb di belakang buku)Ivarr Amundsen kehilangan kemampuannya untuk merasa. Orang yang sangat dia sayangi meninggal dengan cara yang keji, dan dia memilih untuk tidak merasakan apa-apa lagi, menjadi seperti sebongkah patung lilin.
Namun, saat Ivarr bertemu Solveig, perlahan dia bisa merasakan lagi percikan-percikan emosi dalam dirinya. Solveig, gadis yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Solveig, gadis yang misterius dan aneh.
Berlatar di Trondheim, Norwegia, kisah ini akan membawamu ke suatu masa yang muram dan bersalju. Namun, cinta akan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun
Purple Eyes lebih cocok disebut novella, karena jumlah halamannya sedikit, di bawah 200. Saya bisa selesai membacanya dalam sekali duduk, kemudian merasa hampa...Sudah dapat diduga saat membaca premisnya, sebenarnya.... "Pemuda itu masih hidup, dan gadis itu sudah mati." Mana ada akhir kisah cinta bahagia untuk mereka berdua? Saya pribadi kurang puas dengan konklusi kisahnya, tapi jika dipertimbangkan dari berbagai aspek, mungkin memang itulah yang terbaik.
Meskipun titik beratnya adalah romansa, Purple Eyes juga memiliki aspek misteri dan supranatural. Ada kasus pembunuhan berantai yang disebut-sebut, tapi jangan harap Ivarr, tokoh utamanya akan berlagak seperti Sherlock Holmes dan menyelidiki kasus tersebut, meskipun dia memiliki motif kuat untuk melakukan itu. Karakter Ivarr (sang pemuda) memang cenderung pasif, sesuai dengan deskripsi yang menyebutkan bahwa dia kehilangan kemampuan untuk merasakan emosi, setelah kehilangan adik satu-satunya.
Sementara itu, Solveig (sang gadis) bersifat lebih aktif dan banyak bicara untuk menngimbangi Ivarr. Meskipun sepertinya Solveig bukan tipe orang yang cerewet juga; dia terpaksa karena disuruh atasannya.
Secara keseluruhan, alur kisah Purple Eyes mengalir dan enak dibaca. Saya cuma punya satu ganjalan saja... yakni sewaktu Ivarr dan Solveig pertama kali pergi outing ke museum (kalau tidak salah). Disebutkan bahwa sepanjang perjalanan, Ivarr melihat ke luar jendela. Tapi tidak disebutkan mereka pergi naik apa. Saya jadinya menebak-nebak... mungkin mereka naik kereta? Atau trem (memangnya di Trondheim ada trem)? Atau naik mobil pribadi? Ah, entahlah... hal remeh sebenarnya, tapi jadi mengganggu keasyikan membaca.
Oh iya, Purple Eyes sendiri mengacu pada warna bola mata Ivarr. Ungu, seperti biru, adalah warna 'dingin', jadi cocok sekali dengan latar belakang kisahnya.
Karya Mbak Prisca yang harus saya baca berikutnya sepertinya adalah Love Theft, mengingat sang penulis sepertinya sangat mencintai karya yang satu ini hingga bela-belain self-publish ^^
Ulasan buku ini saya sertakan dalam tantangan membaca SEVENEVES nomor 8: buku yang ditulis oleh penulis Indonesia namun berlatar di luar negeri. Seperti yang sudah disebutkan di atas, Purple Eyes berlatar di Trondheim, Norwegia. Mbak Prisca memang sepertinya suka mengambil setting luar negeri dalam novel-novelnya, sebut saja Paris (Prancis) atau Kastil Es dan Air Mancur yang Berdansa (Rusia). Dia menggambarkannya dengan romantis, dan tecermin kegemarannya pada hal-hal yang bernuansa klasik. Deskripsinya akan tempat-tempat tersebut menggoda pembaca untuk bertandang sendiri ke sana.
Dengan ini, beres sudah saya menjawab seluruh tantangan membaca SEVENEVES. Terima kasih sudah mengadakan tantangan ini, Mas Jun dan Mbak Mary :)