Kamis, 26 Februari 2015

Trilogi Under the Never Sky - Nyaris Tak Ada Waktu Untuk Menarik Nafas

Under the Never Sky, Through the Ever Night, dan Into the Still Blue adalah trilogi novel fantasi distopia karya Veronica Rossi.

Perkenalan saya dengan trilogi ini adalah karena pekerjaan. Kira-kira tiga tahun yang lalu, saya mengurus surat kontrak terkait pembelian hak cipta penerjemahan trilogi ini ke dalam bahasa Indonesia (karena pada saat itu posisi saya sebagai rights assistant). Tak pernah terpikir bahwa tiga tahun setelahnya saya akan bertemu lagi dengan trilogi ini dalam posisi yang berbeda, yakni sebagai editor penanggung jawab.

Kemudian, entah bagaimana ketiga buku ini, dalam versi bahasa Inggris, menjadi salah tiga penghuni rak buku saya. Into the Still Blue (buku ketiga) yang pertama kali saya beli, sewaktu sedang jalan-jalan ke toko buku impor. Saya keliru menyangka ini buku kedua, yang diperlukan sebagai referensi redaksi. Padahal ternyata redaksi sudah punya buku ini, jadi ya sudah, saya simpan untuk koleksi pribadi. Setelah itu barulah saya membeli Under the Never Sky dan Through the Ever Night sekaligus lewat toko buku online.


Sekarang saya sudah selesai membaca ketiga buku ini, dan saya tidak menyesal telah membelinya... walaupun awalnya sempat mengerutkan kening melihat desain sampulnya yang kurang saya suka. Untuk kali ini, saya mengabaikan sampulnya, karena ceritanya sangat seru! Nyaris tidak ada adegan yang membuat saya terkantuk-kantuk.

Dunia Distopia

[Jangan tanya distopia itu artinya apa, karena saya sendiri tidak paham sepenuhnya dan khawatir tidak dapat menjelaskan dengan baik. Alih-alih, carilah definisinya di Google :D]

Dunia distopia ala trilogi Under the Never Sky adalah sebuah dunia yang langitnya sudah bocor dan disusupi oleh materi asing bernama aether. Aether ini semacam aliran listrik yang berputar-putar di langit, dan sesekali akan mengamuk dan menyebabkan badai, petir menyambar-nyambar dan menghanguskan permukaan bumi.

Gara-gara badai aether, sebagian umat manusia membangun tempat perlindungan yang disebut pod. Mereka yang tinggal di dalam pod disebut Penghuni, dan mereka menguasai teknologi tingkat tinggi. Sebagian lagi umat manusia tetap tinggal di tempat terbuka, membentuk kelompok atau suku. Mereka disebut Kaum Liar atau Kaum Luar.

Entah bagaimana, Kaum Luar beradaptasi untuk menghadapi ganasnya kehidupan di tempat terbuka dengan mengembangkan tiga indera utama manusia: penglihatan, pendengaran, dan penciuman. Orang-orang yang unggul indera penglihatannya disebut Seer, yang unggul indera pendengarannya disebut Aud (Audile), dan yang unggul indera penciumannya disebut Scire.

Mereka yang Awalnya Saling Benci, Kemudian Jadi Cinta

Tokoh utama dalam trilogi ini adalah gadis bernama Aria, dan pemuda bernama Peregrine (Perry). Aria adalah seorang Penghuni yang diusir dari pod-nya karena melakukan suatu kesalahan fatal, sedangkan Perry adalah Kaum Luar yang pergi dari sukunya untuk mencari keponakannya yang diculik (oleh Penghuni).

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Penghuni dan Kaum Luar saling benci. Mereka punya banyak alasan untuk saling benci, yang pada intinya disebabkan karena perbedaan cara hidup mereka dan ketidakmauan untuk saling memahami. Jadi, sewaktu Aria dan Perry bertemu, mereka bermusuhan. Namun mereka terpaksa untuk tetap bersama karena saling membutuhkan. Aria membutuhkan Perry untuk bertahan hidup di dunia luar dan untuk mencari keberadaan ibunya, dan Perry juga membutuhkan Aria untuk mencari keponakannya.

Tentu saja karena terus-terusan bersama akhirnya mereka mulai saling memahami... dan akhirnya saling jatuh cinta. Tapi kisah cinta mereka tidak berjalan dengan mulus (iya dong, kalau tidak ada masalah kan jadi tidak seru).

Awalnya...

Di buku satu, tujuan Aria adalah menemukan ibunya, dan tujuan Perry adalah menemukan keponakannya. Pada akhirnya mereka memang menemukan apa yang mereka cari, tapi tidak terlalu sesuai dengan yang diharapkan. Ada konspirasi di balik alur cerita yang awalnya terkesan datar. Ada kenyataan mengejutkan yang menunggu menjelang akhir.

Kemudian... 

***MILD SPOILER ALERT***
Di buku dua, Perry menjadi Pemuka Darah (atau kepala suku) suku Tide, dan kebebasannya terenggut. Dia tidak bisa seenaknya pergi meninggalkan suku untuk menemani Aria yang hendak pergi ke utara untuk mencari informasi tentang Still Blue.

Still Blue awalnya dianggap mitos. Katanya, Still Blue adalah satu-satunya tempat yang bebas badai aether. Langitnya masih bersih, biru cerah... makanya dinamakan Still Blue. Semua orang ingin pergi ke Still Blue, karena badai aether semakin sering terjadi dan semakin dahsyat juga amukannya. Satu-satunya yang tahu lokasi Still Blue adalah Sable, Pemuka Darah suku Horn yang ada di utara. Tentu Sable tidak akan memberikan informasi tentang Still Blue secara cuma-cuma. Aria harus memutar otak untuk mendapatkannya. Dan pengorbanan yang harus dilakukan juga sangat besar...

Pada akhirnya, Penghuni dan Kaum Luar harus bekerja sama untuk dapat mencapai Still Blue. Mereka harus mengesampingan permusuhan yang sudah berpuluh-puluh tahun mendarah daging. Walaupun terpaksa bekerja sama, mereka tetap waspada dan tidak bisa saling percaya. Pengkhianatan bisa terjadi kapan saja. Bahkan mungkin Aria dan Perry pun tidak bisa sepenuhnya saling percaya. Mungkin cinta saja tidak cukup...
***END OF SPOILER ALERT***


Versi Terjemahan Bahasa Indonesia

Under the Never Sky telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mbak Dina Begum dan diterbitkan oleh Mizan Fantasi. Buku kedua dan ketiga juga sudah diterjemahkan oleh penerjemah yang sama, dan sedang diproses untuk segera diterbitkan.


Terbit Agustus 2015


Kesan & Pesan

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, ceritanya seru! Proses penyuntingannya sangat lancar karena saya nyaris tidak bisa berhenti membaca. Selalu penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Alurnya cepat, sebelum saya bisa menarik nafas setelah berakhirnya satu insiden, sudah terjadi insiden baru. Memang ada insiden-insiden yang sudah bisa diduga akan terjadi, tapi tetap saja membuat penasaran ingin tahu seperti apa penyelesaiannya. Ada kematian-kematian juga yang membuat dada ini terasa sesak.

Saya sangat berharap trilogi ini benar-benar akan diangkat ke layar lebar, dan digarap dengan serius. Sebelum itu terjadi, saya akan menantikan karya-karya berikutnya dari Veronica Rossi.

8 komentar:

  1. Entah mengapa aku lebih suka sama Roar. Mungkin karena rambut hitamnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga lebih suka sama yg rambut hitam, mbak :D Roar boleh buat Mbak Dina... mo diuyel2 boleh :)) Aku lebih suka Marron... hmmm... atau Cinder... *mewek*

      Hapus
  2. Ka through the ever night udh terbit di gramed belom ka ? Aku udh punya yg series 1 mau lanjut ke book 2 tpi aku search di gramedia online ga ada ka, mohon infonya makasih banyak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Through the Ever Night dan Into the Still Blue belum terbit versi terjemahan Bhs Indonesianya, Shafira. Masih proses proofread. Ditunggu saja ya... thank you :)

      Hapus
  3. Gagal paham... meski penjelasannaya menarik...

    BalasHapus
  4. Rata-rata dunia distopia memang sulit dipahami ^^ tapi sekalinya masuk ke dalam dunia itu, biasanya akan terhanyut oleh keseruan di dalamnya.

    BalasHapus